Tuesday, March 29, 2011

Kisah Romeo dan Juliet Dari Kota Malang


Semula Karjan, 30, menikahi Titik, 39, karena ingin merampas hartanya. Tapi gara-gara kesalahan teknis, justru nyawa sendiri yang terampas. Ya, dia mati bunuh diri karena ketakutan telah menganiaya bini sampai mati. Paling unik, sebelumnya Karjan masih sempat-sempatnya menggantung mayat istri.


Orang Jawa punya filosofi tentang harta, yakni harta nistha, madya dan utama. Nistha adalah harta yang diperoleh lewat kejahatan. Madya harta dari warisan dan utama adalah harta yang diperoleh dari hasil keringatnya, bukan karena terima cek pelawat macam anggota DPR. Tapi bagaimana status harta arisan itu, jika diperoleh dengan cara pura-pura menikahi bekas istri kakak sendiri?


Inilah benang kusut yang dibuat sendiri oleh Karjan warga Desa Bendalisada Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang (Jatim). Pada mulanya hubungan dia dengan Titik sebatas adik dan kakak ipar, karena perempuan tersebut adalah istri dari kakak kandung Karjan sendiri. Meskipun orang suka memplesetkan ipe adalah kepanjangan kata iki ya penak, dia tak pernah memikirkan bagaimana bisa penak-penakan dengan istri kakak sendiri.


Tapi perjalanan nasib telah menggiringnya ke sana. Tanpa sakit tanpa masuk angin, Badrun, 43, kakak Karjan ini klepeg klepeg meninggal dunia. Lalu kemudian fakta bicara depan matanya, seluruh harta peninggalan almarhum bakal jatuh jadi hak waris Titik kakak iparnya. Karjan pun segera ingat akan nasib dirinya yang miskin, yang sampai usia kepala tiga belum punya istri gara-gara tak punya pekerjaan tetap. “Janda bekas kakakmu harus kamu akuisi Bleh….,” kata setan bak menteri BUMN menasihati Dirut BUMN.


Untuk mengubah nasib mulailah Karjan berpikir bagaimana bisa menjadi suami pengganti bagi Titik. Terus terang, wajah dan bodi kakak iparnya ini pas-pasan saja, tak begitu menarik. Tapi demi menyelamatkan asset keluarga, tak apalah punya istri jelek. Jika terpaksa, saat “diperlukan” apa salahnya sambil membayangkan Krisdayanti atau Paramitha Rasudi, kan sama saja.


Mulailah Karjan mengadakan lobi-lobi kecil pada janda Titik. Karena janda itu sendiri juga belum siap kedinginan terus di usia muda, akhirnya diterimalah adik iparnya ini sebagai calon suami pengganti. Maka setelah slametan 100 hari almarhum, resmilah Karjan menikahi Titik yang bekas kakak iparnya. Setelah itu, dia membenarkan celoteh orang-orang bahwa ipe itu memang kepanjangan kata: iki ya penak (ini juga enak).


Sungguh bahagialah Karjan jadi suami Titik, karena dia sekarang telah berhasil menyelamatkan asset kakaknya yang nyaris dikuasai Titik sendiri. Cuma lama-lama ketahuan juga modus operandi mantan penganggur ini, karena Karjan selalu berusaha memindahkan kepemilikan harta itu ke atas namanya sendiri. Dan beberapa hari lalu misalnya, suami istri ini ribut karena Titik tak mau harta warisan Badrun dikuasai Karjan. “Nek aku mati sik, bandhaku nang dheke kabeh (jika aku mati duluan, hartaku dikuasai dia),” kata Titik sekali waktu.


Keributan beberapa hari lalu itu agaknya mencapai klimaksnya. Soalnya, Karjan yang lepas kendali tega melepaskan pukulan mematikan sehingga istri pun wasalam. Takut jadi urusan polisi, dia segera menggantung tubuh istrinya, agar kelak dikira gantung diri. Namun di sisi lain, Karjan juga merasa bahwa akal-akalannya ini bakal ketahuan juga. Daripada pusing lagi-lagi jadi urusan polisi, tanpa pikir panjang dia nekad gantung diri pula di sebelahnya.


Orang gantung diri kok “kerjasama”, mana bisa?

No comments:

Post a Comment